Kamis, 05 Desember 2013

Aku Versus Si Perempuan Beruntung

Mereka bilang, kamu adalah mesin pembuat tawa.
Aku tahu hal itu, itulah hal yang pasti kamu bawa.
Seluruh kelas tertawa kepas karenamu.
Seperti apa yang pernah kamu lakukan dulu.

Andai aku ada di posisi mereka.
Menikmati seluruh hal bodoh yang kau lontarkan.
Kemudian kita tertawa lepas.
Membiarkan tawa kita menguap bersama udara dan menghepas.

Mereka bilang, permainanmu di lapangan sangat ciamik.
Mungkin hal itu yang pernah membuatku berpikir bahwa kamu menarik.
Dengan sigap kamu menghalau serangan dari lawan.
Kemudian berdiri gagah di depan gawang dengan tatapan menantang.

Andai aku ada di posisi mereka.
Menikmati seluruh gerak-gerik tumbuhmu yang lincah dalam memeluk bola.
Kemudian bersorak keras dan mengagungkan namamu.
Seperti apa yang pernah aku lakukan dulu.

Perempuan beruntung itu bilang, kamu adalah yang terbaik.
Kamu adalah orang yang selalu membuatnya tertawa.
Kemudia dia berpikir bahwa kamu adalah Sang Pelukis Hari.
Ya, Perempuan Beruntung itu benar.

Andai aku ada di posisi perempuan yang beruntung itu.
Aku tidak akan menyia-nyiakanmu.
Memegangmu erat dan tak ingin aku lepaskan.
Tetapi mengapa kamu bertingkah seolah-olah seperti pasir?
Semakin aku erat menggenggammu, semakin kamu menghilang. Semakin kamu pergi. Semakin kamu habis.

Ada beberapa pertanyaan yang berlarian di benakku.

Apakah Perempuan Beruntung itu tahu bahwa merah adalah kebanggaanmu?

Apakah perempuan beruntung itu tahu bahwa permen karamel berlapis cokelat adalah pelengkap harimu?

Apakah perempuan beruntung itu membuatmu merasa ada di atas awan ketika kamu sedang berada di titik jenuh kehidupan?

Apakah perempuan beruntung itu melantunkan seluruh nada-nada Sang Maestromu?

Apakah perempuan beruntung itu telah menggantikan jemariku yang dulu pernah aku sematkan di antara sela-sela jemarimu?

Andai aku adalah Si Perempuan Beruntung itu.
Yang akan selalu sangat merasa beruntung untuk memilikimu.

Desember, 2013.
Masih mengubur rindu yang semakin hari, semakin mengembang.

Published with Blogger-droid v2.0.10

Nasib Si Gadis Suram

Coba kau lihat ke arah Gadis Suram itu.
Oh, kau tidak dapat melihatnya? Tentu saja.
Coba kamu perhatikan baik-baik.
Ada seorang Gadis Suram di bawah tumpukan kenangan usang itu.
Gadis itu terlalu bodoh dan membiarkan dirinya tertimbun oleh kenangan masa lalu.

Perhatikan baik-baik rupanya.
Matanya sembab, ada lingkaran hitam disekelilingnya. Sepertinya dia mengangis terlalu lama. Lihat matanya, sembab dan merah.
Kulitnya pucat. Sepertinya dia mati rasa.
Dia tampak berantakan. Apakah ada yang peduli? Tidak.

Perhatikan dia baik-baik.
Apakah kamu dapat menebak sifatnya? Terlihat jelas.

Gadis Suram itu terpuruk.
Keegoisan yang membuatnya seperti itu.
Dia terlalu egois untuk melihatmu menggenggam tangan yang beku milik orang lain.

Gadis Suram itu terpuruk.
Keserakahan yang membuatnya seperti itu.
Dia terlalu serakah ingin memiliki segalanya tentang kamu.

Gadis Suram itu terpuruk.
Kebodohan yang membuatnya seperti itu.
Dia terlalu bodoh untuk mengeluarkan bulir-bulir air mata yang Ia biarkan mengalir begitu derasnya.

Tubuhnya melebam.
Ia terpukul atas kepergian orang yang begitu sangat berarti di hidupnya.
Tubuhnya remuk.
Ia terhantam bola beton besar yang berisi kenangan.

Apakah kamu dapat melihat kedalamnya?
Jauh, jauh sekali di dalam jiwanya terdapat kepingan hati yang kini sudah remuk redam.

Hati Gadis Suram itu bak sebuah kaca.
Mudah pecah dan tidak akan dapat disatukan lagi walaupun dengan perekat yang paling kuat sedunia.

Pernah satu kali Ia berpikir bahwa kepingan hatinya ada sebuah puzzel.
Ia mencoba merangkainya kembali.
Menyatukannya untuk menjadi kesatuan yang utuh.
Kemudian dia berlari dan berteriak,

'Dimana kepingan terakhirku?'

Hilang. Kepingan terakhirnya hilang.
Atau lebih tepatnya pergi.

Ia marah. Ia lempar puzzel itu.
Untuk kebeberapa kalinya, hatinya hancur lagi seketika.
Gadis Suram itu memang bodoh.

Apakah kamu meyadarinya?
Ada sebuah kolerasi antara Gadis Suram itu dengan Aku.

Atau lebih tepatnya, Aku adalah Si Gadis Suram itu.

Published with Blogger-droid v2.0.10

Kamu dan Bahasa Daerah

Tes bahasa daerah. Ya, itulah salah satu hal yang aku ingat darimu.

'Ini apa?' 'Itu apa?' 'Parah, aku bahkan tidak tahu artinya. Bagaimana aku dapat mengisi kertas essay ini?'

Dasar nomaden. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa kamu kurang dalam menguasai bahasa daerah.

Kamu mengusap rambutmu. Pertanda bahwa kamu sedang gelisah. Kemudian kamu menjambak rambut landakmu itu. Dan kamu tersenyum bodoh.

Aku memperhatikanmu dari ujung ruangan. Rasanya aku ingin tertawa karena ulahmu. Nampaknya kamu benar-benar tidak mengerti akan bahasa daerah ini. Aku melirik ke arahmu lagi. Kemudian sepasang mata sipit menatapku tajam dan memberi sinyal, 'Tolong aku!'

Aku tersenyum licik. Aku pura-pura tidak melihatmu. Kemudian kamu memberiku sinyal lagi. Aku menyerah. Iya, nomor empat belas, D.

Waktu tes sudah habis. Aku beranjak dari tempat dudukku. Begitupun kamu. Lalu kamu menghampiriku, menunjukan kertas essaymu yang kosong melompong. Aku terbelalak dan kamu bertingkah layaknya tidak ada yang salah.

Ya, kamu dan bahasa daerah tidak akan pernah bisa bersatu.
Sama halnya dengan aku dan kamu yang tidak akan mungkin lagi bersatu menjadi 'Kita'.