Seperti biasa. Aku duduk di kursi depan bangkunya. Hanya diam. Tidak ada yang ingin aku ucapkan. Biasanya obrolan antara aku dan Ken dimulai ketika kita saling melihat satu sama lain. Tapi kali ini berbeda, bibirku terlalu beku untuk digerakkan.
Aku diam. Ken diam. Keadaan memaksaku untuk diam. Sepertinya aku melihat ada jarak antara aku dan Ken. Apakah semua ini ulah rasa yang aku alami beberapa saat ini? Tak ada ada yang tau.
Aku utak-atik ponselku dan berbicara hal-hal menarik dengan Ita. Tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ken. Rasanya tulang leherku sedang tidak berfungsi.
Tapi aku merasa........ sepi. Tanpa obrolan yang bodoh bersamamu, satu hari begitu terasa sangat lama. Aku bosan.
Jarak. Jarak untuk mengobrol denganmu sepertinya sangat panjang. Ada jarak diantara kita. Kita tidak bertingkah seperti biasanya. Iya, sunyi.
Kita bak orang yang benar-benar saling mengerti satu sama lain di dunia komunikasi, tapi sayang, kita seperti dua orang yang baru bertemu jika di dunia asli. Layaknya orang baru dan enggan untuk memperlihatkan sifat asli.
Maaf. Akhir-akhir ini aku menyukaimu, Ken. Dan entah apa yang telah membuatku begitu enggan untuk berbicara denganmu di dunia nyata. Mungkin rasa gengsi yang menyelimuti aku saat ini.
Kamu sadar. Iya, kamu sadar bahwa kita telah berubah. Hanya ada keheningan diantara kita. Padahal awalnya kita adalah dua orang yang benar-benar berisik.
Maaf telah diam disaat kita mempunyai kesempatan. Maaf, lidahku kelu disaat aku harus berbicara padamu. Maaf, aku menyukaimu. Dan beribu maaf untuk harapanku yang saat ini menginginkanmu.
Kamis, 28 November 2013
Aku, Kamu, dan Kesunyian November.
Selasa, 19 November 2013
Jarak Antara Tawa dan Tangis
Seperti senin biasanya, gue berangkat ke sekolah agak pagi. Gue lakuin rutinitas senin itu semenjak gue aktif lagi di PMR. Ya, setiap Senin pagi pasti ada upacara dan PMR harus 'jaga', maka dari itu gue harus siap-siap dari pagi.
Ternyata gue berangkat terlalu pagi dan UKS masih terkunci rapat. Si pemegang kunci UKS mungkin belum datang. Gue langsung ninggalin UKS dan segera caw ke kelas. Di kelas udah lumayan rame. Gue taro tas gue di kursi dan ambil syal kuning-syal keluarga punya sekolah gue sebagai tanda bahwa yang memakai syal kuning adalah anak PMR- lalu gue ke balkon depan kelas.
Gue ngeliat Farah. Gue sapa, Farah bales nyapa. Gue bercanda sama Farah berdua. Ngomongin hal hal yang mungkin hanya kita berdua aja yang ngerti.
"Dingin ya, Far." Celetuk gue.
"Iya nih. Ngga ada yang ngangetin ya." Bales Farah.
Dasar jomblo. Biasanya cuman ngode.
Ngga berapa lama kemudian datanglah Oboy (nama samaran; nama aslinya Hendri, biasa dipanggil Henu, tapi gatau kenapa bisa dipanggil oboy). Oboy nimbrung ke pembicaraan gue sama Farah. Gue, Farah, Oboy ngomongin "masa lalu". Gue sama Farah bully Oboy. Ngejekin Oboy sampe puas dan tertawa terbahak-bahak.
Pagi ini emang mendung, tapi berkat Farah sama Oboy seenggaknya mood ngga semendung pagi ini. Gue ketawa lepas. Rasanya gue bener-bener ngalamin Senin pagi yang bahagia.
Ngga lama kemudian, gue ngeliat Rahmat yang ada di seberang balkon gue. Gue panggil Rahmat, ngajak doi buat nimbrung sama kita kita. Rahmat nyamperin kita. Gue sama Farah ejekin Rahmat. Gue sama Farah ketawa lepas. Gue bahagia pagi ini.
Gue dan ketiga temen gue bersandar di pembatas balkon sambil ngobrolin hal yang ringan. Tiba-tiba Rahmat nyeletuk,
"Bentar lagi Desember ya, Nid."
"Haha, iya, Mat. Tolie kenapa?" Gue pura-pura ngga ngerti. Padahal gue bener-bener ngerti apa yang dimaksud Rahmat.
Iya, maksud Rahmat adalah Desember dan doi yang bakal main sebentar ke Cirebon. Ya, doi emang jauh, dan bagi gue, ngeliat mukanya aja, gue pasti bakal seneng banget.
"Ya, tapikan doi ke Cirebon juga bukan buat ngeliat lo, Nid!" Rahmat kayaknya lagi bercandain gue.
"I knew, dudeeee." Kata gue.
"Lagian kan doi udah punya yang baru haha." Celetuk Rahmat.
"Hahaa... ha... ha...." gue tahan diri gue. Tunggu tunggu. Apa yang dimaksud 'udah ada yang baru' kata Rahmat barusan. Gue liat mimik muka Rahmat. Serius. Dia ngomong itu serius. Dia ga bercanda. Gue speechless.
Tawa gue yang awalnya bener-bener kenceng berubah jadi pelan. Yang tadinya "HAHAHAHAHA" menjadi "HAHA.... HA... ha... ha... hiks hiks." Iya. Gue ngerasa goblok. Mata gue tiba-tiba keluar air mata. Tiba-tiba. Spontan. Dengan lantangnya gue teriak dan masuk ke kelas. Gue tutup muka gue pake syal kuning gue. Gue gamau temen-temen gue ngeliat gue nangis. Gue juga ga habis pikir; kenapa air mata tiba-tiba keluar pas gue denger kabar itu?
Gue kabur. Gue ngerasa bodoh. Gue jalan ke UKS sambil ngelap air mata gue yang bener-bener ngga berhenti ngalir. Ngga ngerti apa yang gue tangisin. Intinya, gue pengen bikin lega pikiran gue yang bener-bener kalut.
Upacara udah dimulai. Gue jaga di barisan belakang kelas XI IPA 1 - XI IPA 3. Pada saat itu gue masih nangis. Mata gue bener-bener sembab, ingus gue keluar masuk, tangan bener-bener dingin. Dan akhirnya ada perang di dalam pikiran gue sendiri :
"Bodoh, kamu nangisin apa emangnya? Emang kalau kamu nangis bakal nyelesaiin masalah? Udahlah gausah nangis. Wake up, girl."
"Udah nangis aja. Apa lagi coba yang bisa kamu perbuat pas kamu emang bener-bener udah digantiin? Sakit kan kalau digantiin? Nangis aja yang kenceng."
"Percuma nangis juga. Move on lah, doi aja udah moveon, masa lo belom sih? Ya keles bro, cowok banyak kaliiiik. Udah udah apus air matanya yak."
"Nangis aja terus. Sampe puas. Lo masih belum bisa ngegantiin posisi doi di hati lo, dan doi udah. Sakit hati ngga lo? SAKIT HATI COY."
"He's not worth to wait, girl. Wake up and move on."
"DIGANTIIN COYYY DIGANTIIN!!! ditinggal udah, digantiin udah, tinggal dilupainnya aja~"
Kayaknya batin gue bener-bener lagi berantem. Gue gatau harus apa. Gue balik ke UKS. Nenangin diri. Gue mikir. Buat apa gue nangisin doi. Percuma. Toh sampe mata gue lebampun ngga akan bisa ngerubah keadaan.
Ternyata jarak antara tawa dan tangis itu memang begitu dekat, tidak seperti jarak antara gue dan doi. Terkadang emang banyak hal yang bikin lo sedih, ternyata itu adalah hal yang bikin lo seneng. Dan sebaliknya, hal yang bikin lo seneng kadang bisa bikin lo sedih.
Minggu, 17 November 2013
Like We Used To [Cerbung Part 5]
Udara sangatlah sejuk. Rasanya langit sebentar lagi akan menumpahkan air matanya. Awan yang kelabu menghalangi sinar matahari yang bertugas untuk menghangatkan Kota Udang. Sekitar lima menit yang lalu aku sudah ada di dalam kelas. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Aku adalah orang yang pertama menempati kelas. Pada waktu kelas satu SD dulu, menjadi orang yang pertama kali masuk kelas adalah hal yang luar biasa, tapi kini tidak lagi.
Aku berpindah posisi dari kelas ke koridor kelas. Sepi. Sangat sepi. Padahal waktu telah menunjukan pukul enam lebih lima belas menit. Setidaknya ada tiga atau empat tubuh yang sudah duduk di kelas ini.
Sepuluh menit kemudian satu per satu temanku akhirnya datang juga. Aku masih berada di koridor kelas dan menempatkan sikuku di dinding pembatas yang berukuran hanya satu jengkal lebih dari pinggangku.
"Hai, Rue!" Aku sapa satu per satu temanku dengan gaya khasku; selenge'an. Rue membalas menyapaku.
"Hai, Nad! Masih pagi dan kamu bertingkah seperti ini. Dasar gila!' Aku tersenyum.
Tak berapa lama aku melihat. Sesosok anak laki-laki yang berbadan agak gemuk, bergigi kelinci, serta tas hitam yang bertengger di bahunya. Aku meneriakinya.
"Ah, ini dia... hai, Ken! Aku tak sabar menerima kebab darimu! Janji tetaplah janji!" Aku menjulurkan lidahku.
"Maaf, kamu siapa ya?" Ken berpura-pura tidak mengenalku. Kurang ajar.
Bel tanda masuk sekolah akhirnya berbunyi. Seluruh siswa yang tadinya ada di depan kelas, segera masuk ke dalam kelas.
Lima belas menit berlalu, tapi guru yang harusnya mengajar di kelasku tak kunjung datang.
Seperti biasa, setiap ada waktu kosong, aku biasanya mengobrol hal-hal bodoh bersama teman sebangkuku, Pelita, dan teman belakang mejaku, Ken dan Rizki. Berbicara tentang kartun, atau apapun.
"Hai, Ken!" Aku melemparkan senyuman terlebarku kepadanya.
Dia hanya tersenyum.
Kami terpaku dengan senyuman yang menyeramkan.
"Aduh, Ken, aku lapar," aku mengejeknya.
"Ya makanlah."
"Tapi aku maunya makan kebab. Hehehehe."
"Huh. Dasar. Iyaaaa iyaaa." Akhirnya dia mengalah juga. Aku segera mendapatkan kebab dari Ken. Yeay!!!
***
Bel tanda pulang berbunyi. Tapi aku dan teman-temanku tidak bergegas pulang ke rumah. Ya, tugas seni budaya. Beberapa hari lagi final. Aku memberitahu kelompokku untuk latihan. Ya.. maksimalnya sampai jam lima sore. Mereka mengiyakan.
Hujan benar-benar sangat awet. Dia menumpahkan airnya sedari pagi dan sampai saat ini belum juga reda. Aku menadahkan tanganku, menampung air hujan yang terjatuh dari genting hijau. Teman-temanku beristirahat sejenak, membeli makanan di kantin. Latihan seni budaya mungkin sebentar lagi akan dimulai.
"Aku pulang ya, Nad!" Kata Ken sambil melewatiku.
"Heh. Asal aja! Latihan dulu! Bentar lagi final. Lagi pula sekarang kan hujan." Aku menarik tasnya dan membuatnya berhenti melangkah.
"Ih ya biarin weeeek. Dadaaaah." Akhirnya dia berhasil kabur dengan muka mengejeknya itu.
Aku benar-benar marah pada Ken. Apatis sekali dia. Seakan-akan dia tidak peduli dengan kelompoknya. Apakah dia tidak berpikir bahwa final sudah di depan mata?
Anggota kelompokku sudah hadir semua-kecuali Ken. Fathan menggenjreng gitarnya. Aku dan yang lain menyanyikan lagu yang telah kami aransemen sembari membuat formasi. Aku rasanya malas sekali mengikuti latihan hari ini. Semua ini karena Ken. Ken telah menghancurkan moodku.
Satu jam sudah kami berlatih. Tiba-tiba ada suara langkah kaki dari tangga.
"Nih, Nad! Aku menepati janjiku." Ken memberiku satu kantung kresek yang berisi banyak kebab.
Dia bukan pergi untuk pulang. Dia pergi untuk menepati janjinya. Entah mengapa aku terharu. Dia berani menghalau derasnya hujan demi janjinya. Aku terdiam.
"Aaaah. Terima kasih, Ken! I love yoooou!" Teriakku.
Ternyata Ken membeli banyak kebab. Untuk kelompok seni budayaku juga. Padahal kan aku yang taruhan dengannya, tetapi kenapa teman kelompokku kena imbasnya juga, ya? Hahaha. Lupakan. Terima kasih, Ken! I'm full!
Jumat, 08 November 2013
Like We Used To [Cerbung Part 4]
Aku comot martabak yang Papa beli untuk kami dalam rangka nonton bareng bersama keluarga besar. Walaupun mama dan adik-adikku tidak mengerti pertandingan bola, mereka tetap setia menemani aku dan Papa sampai peluit panjang berakhir.
Aku memang perempuan, tapi entahlah. Menurutku menonton pertandingan bola adalah hal terseru yang pernah ada. Papa yang mengenalkanku kepada tontonan seperti ini.
Papa selalu saja menginginkan anak laki-laki, untuk teman menonton bola katanya.
Pertandingan demi pertandingan yang papa tonton kini makin membuatku lebih penasaran lagi untuk menonton olah raga sejuta umat itu. Dan inilah aku, anak perempuan yang selalu ikut papanya untuk menonton sepak bola dan selalu mendukung seluruh tim yang papa dukung. Aneh memang.
Teriakan demi teriakan aku keluarkan dari mulutku, begitupun papa. Sudah hampir tiga puluh menit tim bola kesayangan papa tidak mencetak gol.
'Glory Glory Manchester United!!!' Teriaknya.
Aku yang sedari tadi memegang ponsel di tangan kiriku dan tangan kananku memegang martabak, ikut berteriak. Sepertinya pepatah benar; buah tak jatuh jauh dari pohonnya.
Satu yang jadi permasalahan kali ini adalah setiap aku menonton pertandingan MU, MU pasti akan kalah. Itu bukan hanya mitos. Itu benar-benar fakta. Sebaiknya aku harus cepat-cepat pergi ke kamar dan berhenti menonton pertandingan ini.
'Pergilah ke kamar, Nad! Papa tau MU tidak juga mencetak gol itu gara-gara kamu!!! Masuk kamar! Cepat!' Kata papa dengan nada mengejek.
Huh sebal.
Aku segera masuk ke dalam kamarku dan membaca novel. Tiba-tiba saja Ken mengirimku pesan teks.
'Tolong, Nad. Tolong jangan nonton pertandingan MU kali ini.' Isi sms dari Ken.
Kurang ajar.
Ya, Ken memang tau kalau aku ini mungkin bisa dibilang 'kucing hitam'nya Manchester United.
'GOOOOOOOOOOOL!!!!!!' Teriak papa dari ruang TV. Benar saja, saat aku masuk ke kamar, MU mencetak gol.
Ini adalah sebuah kebetulan. Ya, kebetulan.
'Tuh kan, Nad!!! Kamu ngga boleh nonton MU!! Udah tetaplah di kamarmu. Jangan kemana-mana!!!' Kubaca isi pesan teks dari Ken itu. Dasar bocah laknat.
Aku balas, 'Terserah kamu saja, Ken. Bagaimana kalau kita taruhan? Kalau MU membobol gawang lawan, aku traktir kamu kebab dan sebaliknya. Jika lawan membobol gawang MU, kamu yang traktir aku kebab. Bagaimana?"
"Deal." Ujarnya.
Kita berdua sepakat.
Aku keluar dari tempat persembunyianku dan menyelinap masuk ke luar keluarga. Nampaknya Papa benar-benar sedang menikmati permainan bola sepak di tv. Aku duduk di sebalahnya dan tiba-tiba...
"Goooooool!!!!" Teriak komentator bola di tv, tetapi tidak ada respon dari Papa. Benar saja, hanya sejenak aku menonton laga MU, pastilah team yang dielu-elukan Papaku itu pasti kebobolan. Oke, itu hanyalah sebuah kebetulan, Nad.
"Ada yang bakal nraktir aku kebab nih...." aku mengirim pesan teks ke Ken.
Ken membalas, "Duh, iya deh iya."
Haha! Sekarang kamu memiliki hutang kebab kepadaku Ken! Aku tunggu Kebab pemberian darimu. Aku tidak peduli, walaupun kamu adalah anak kos. Perjanjian tetaplah perjanjian dan kebab tetaplah kebab.
Rabu, 06 November 2013
Tawa
Membalikan tubuhku menghadap bangku paling belakang adalah kebiasaanku setiap ada waktu luang untuk mengobrol sebentar. Membicarakan hal-hal bodoh yang seharusnya tidak perlu dibicarakan. Kemudian ada sebuah celetukan khas yang benar-benar membuat tawaku lepas ke udara, begitupun tawamu. Kemudian tawa kita menyatu di udara. Tanpa ada yang tahu bahwa tawa kita mempunyai makna.
