Udara sangatlah sejuk. Rasanya langit sebentar lagi akan menumpahkan air matanya. Awan yang kelabu menghalangi sinar matahari yang bertugas untuk menghangatkan Kota Udang. Sekitar lima menit yang lalu aku sudah ada di dalam kelas. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Aku adalah orang yang pertama menempati kelas. Pada waktu kelas satu SD dulu, menjadi orang yang pertama kali masuk kelas adalah hal yang luar biasa, tapi kini tidak lagi.
Aku berpindah posisi dari kelas ke koridor kelas. Sepi. Sangat sepi. Padahal waktu telah menunjukan pukul enam lebih lima belas menit. Setidaknya ada tiga atau empat tubuh yang sudah duduk di kelas ini.
Sepuluh menit kemudian satu per satu temanku akhirnya datang juga. Aku masih berada di koridor kelas dan menempatkan sikuku di dinding pembatas yang berukuran hanya satu jengkal lebih dari pinggangku.
"Hai, Rue!" Aku sapa satu per satu temanku dengan gaya khasku; selenge'an. Rue membalas menyapaku.
"Hai, Nad! Masih pagi dan kamu bertingkah seperti ini. Dasar gila!' Aku tersenyum.
Tak berapa lama aku melihat. Sesosok anak laki-laki yang berbadan agak gemuk, bergigi kelinci, serta tas hitam yang bertengger di bahunya. Aku meneriakinya.
"Ah, ini dia... hai, Ken! Aku tak sabar menerima kebab darimu! Janji tetaplah janji!" Aku menjulurkan lidahku.
"Maaf, kamu siapa ya?" Ken berpura-pura tidak mengenalku. Kurang ajar.
Bel tanda masuk sekolah akhirnya berbunyi. Seluruh siswa yang tadinya ada di depan kelas, segera masuk ke dalam kelas.
Lima belas menit berlalu, tapi guru yang harusnya mengajar di kelasku tak kunjung datang.
Seperti biasa, setiap ada waktu kosong, aku biasanya mengobrol hal-hal bodoh bersama teman sebangkuku, Pelita, dan teman belakang mejaku, Ken dan Rizki. Berbicara tentang kartun, atau apapun.
"Hai, Ken!" Aku melemparkan senyuman terlebarku kepadanya.
Dia hanya tersenyum.
Kami terpaku dengan senyuman yang menyeramkan.
"Aduh, Ken, aku lapar," aku mengejeknya.
"Ya makanlah."
"Tapi aku maunya makan kebab. Hehehehe."
"Huh. Dasar. Iyaaaa iyaaa." Akhirnya dia mengalah juga. Aku segera mendapatkan kebab dari Ken. Yeay!!!
***
Bel tanda pulang berbunyi. Tapi aku dan teman-temanku tidak bergegas pulang ke rumah. Ya, tugas seni budaya. Beberapa hari lagi final. Aku memberitahu kelompokku untuk latihan. Ya.. maksimalnya sampai jam lima sore. Mereka mengiyakan.
Hujan benar-benar sangat awet. Dia menumpahkan airnya sedari pagi dan sampai saat ini belum juga reda. Aku menadahkan tanganku, menampung air hujan yang terjatuh dari genting hijau. Teman-temanku beristirahat sejenak, membeli makanan di kantin. Latihan seni budaya mungkin sebentar lagi akan dimulai.
"Aku pulang ya, Nad!" Kata Ken sambil melewatiku.
"Heh. Asal aja! Latihan dulu! Bentar lagi final. Lagi pula sekarang kan hujan." Aku menarik tasnya dan membuatnya berhenti melangkah.
"Ih ya biarin weeeek. Dadaaaah." Akhirnya dia berhasil kabur dengan muka mengejeknya itu.
Aku benar-benar marah pada Ken. Apatis sekali dia. Seakan-akan dia tidak peduli dengan kelompoknya. Apakah dia tidak berpikir bahwa final sudah di depan mata?
Anggota kelompokku sudah hadir semua-kecuali Ken. Fathan menggenjreng gitarnya. Aku dan yang lain menyanyikan lagu yang telah kami aransemen sembari membuat formasi. Aku rasanya malas sekali mengikuti latihan hari ini. Semua ini karena Ken. Ken telah menghancurkan moodku.
Satu jam sudah kami berlatih. Tiba-tiba ada suara langkah kaki dari tangga.
"Nih, Nad! Aku menepati janjiku." Ken memberiku satu kantung kresek yang berisi banyak kebab.
Dia bukan pergi untuk pulang. Dia pergi untuk menepati janjinya. Entah mengapa aku terharu. Dia berani menghalau derasnya hujan demi janjinya. Aku terdiam.
"Aaaah. Terima kasih, Ken! I love yoooou!" Teriakku.
Ternyata Ken membeli banyak kebab. Untuk kelompok seni budayaku juga. Padahal kan aku yang taruhan dengannya, tetapi kenapa teman kelompokku kena imbasnya juga, ya? Hahaha. Lupakan. Terima kasih, Ken! I'm full!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar